Kisah Sedih Saksi Tragedi Kanjuruhan, Suami dan Anak Saya, 3,5 Tahun, Meninggal Dunia
Kisah Sedih Saksi Tragedi Kanjuruhan, Suami dan Anak Saya, 3,5 Tahun, Meninggal Dunia. Duel seru Arema FC vs Persebaya Surabaya dalam lanjutan Liga 1 2022 – 2023, Sabtu (1/10/2022) berakhir menyedihkan. Sedikitnya 187 orang tewas dalam tragedi Kanjuruhan, paling sering dipicu oleh gas air mata dari aparat keamanan.
Hingga berita ini diturunkan, satuan penyidik (tugas) independen terus bekerja mencari fakta dan bukti terkait kejadian memilukan ini. PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) selaku operator Liga 1 menghentikan kompetisi hingga waktu yang belum ditentukan.
Tidak ada kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab dan bagaimana kompetisi akan berlanjut. FIFA, sebagai induk organisasi sepak bola dunia, baru saja mengeluarkan pernyataan belasungkawa, namun gagal mengambil langkah lebih lanjut.
Media internasional menggunakan gas air mata di stadion selama pertandingan sepak bola, yang dilarang keras oleh FIFA. Pernyataan aparat keamanan masih simpang siur, meski baru-baru ini Kapolri dikabarkan telah mengambil tindakan tegas terhadap anggota yang terlibat.
Terlepas dari semua pengakuan atau pandangan yang beredar, dua orang saksi tragedi Kanjuruhan menceritakan bagaimana kisruh situasi yang terjadi di markas Arema FC pada malam yang menegangkan itu. Mereka menyayangkan kebakaran gas air mata, yang memiliki andil besar dalam ratusan nyawa.
Pintu Keluar Ditutup, Gas Air Mata Membuat Panik Semua yang ada Di Dalam Stadion
Dalam wawancara dengan Kompas TV, Rifqi Aziz Azhari, seorang Aremania yang berada di tribun VIP Stadion Kanjuruhan, mengatakan, gas air mata langsung terasa di seluruh stadion.
Tidak langsung sesak napas, beberapa menit setelah tembakan langsung terbawa angin, dia harus menutup hidungnya. Posisi penembak di Tribun 14, langsung terbawa ke VIP, kata Rifqi.
Orang-orang bergegas ke ruang akses VIP karena ada pintu dekat dengan ruang medis, jadi semua orang berlari ke akses VIP. Ada yang kejang-kejang, ada yang berwajah biru. Yang saya lihat lima korban, satu polisi, tewas, katanya.
Suami dan Anak Menjadi Korban
Kisah memilukan lainnya yang dialami oleh Evi Elmiati, seorang ibu yang kehilangan anak dan suaminya saat tragedi Kanjuruhan terjadi. Ia mengaku terpisah dari grup saat kisruh dimulai usai laga Arema FC versus Persebaya Surabaya.
“Saya bersama keluarga suami saya dan keluarga saya. Saya meninggalkan rumah bersama suami dan anak-anak. Suami dan anak saya meninggal, anak saya berusia 3,5 tahun,” kata Evi.
“Saat kejadian, suami saya bawa anak saya. Saat mau keluar, Pintu 13 ditahan, kontrolnya harus keluar satu per satu, sementara gas air mata ditembak dari atas.”
Seseorang memeluk saya, seorang wanita, mungkin mereka mengira saya saudara perempuannya, dan dia mengundang saya ke tribun, saya banyak dipisahkan dari suami dan anak-anak saya. Orang-orang sangat berdesak-desakan.
Banyak yang Jatuh dan Terinjak Injak
Evi dan Rifqi kemudian melanjutkan, situasi yang tidak terkendali menyebabkan banyak orang jatuh dan terinjak-injak. Ditambah dengan gas air mata yang membuat semua orang saling dorong untuk menyelamatkan nyawa.
“Sangat sulit karena gas air mata, banyak orang yang terjatuh, bahkan sampai terinjak-injak, sedangkan pintu keluar hanya menampung dua orang,” lanjut Evi elmiati.
Seingat saya, ada satu tembakan gas air mata, tapi empat yang keluar. Kemudian satu ditembakkan ke lapangan, yang kedua langsung di tribun timur, tambah Rifqi.
Yang paling parah itu di tribun 13 dan 14, karena polisi yang melepaskan tembakan berada di posisi tribun 14. Terjadi ricuh di lapangan, yang di tribun tidak, tapi kenapa ditembak di tribun. ? Meskipun ada anak-anak, perempuan juga.